Sabtu, 16 Mei 2009

Silsilah Ilmu Majelis Dzikir

Ajaran tarekat Majelis Dzikir jika dirunut akan sampai kepada Rasulullah Muhammad Saw. Namun untuk mempersingkat, telah sampai kepada Penulis bahwa salah satu moyang guru adalah seorang syaikh Mekkah asal Indonesia yang bernama Syekh Ahmad Khatib Sambas. Ajaran tarekat Syaikh Ahmad Khatib Sambas merupakan perpaduan antara tarekat Qadiriah (yang diajarkan oleh Syekh Abdul Qadir Jilani) dan tarekat Naqsyabandi (yang diajarkan oleh Syekh Bukhari Naqsyabandi).
Diantara murid-murid Syekh Ahmad Khatib Sambas di Mekkah, adalah seorang Indonesia bernama Syekh Tolha Tolabuddin yang masih keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon. Syekh Tolha memiliki banyak murid, diantaranya adalah Mama Zeni (yang makamnya ada di sebelah makam Syekh Tolha di Gunung Jati) dan Syekh Abdul Mu'in (Ki Abdul Mu'in).
Guru Ayahanda, Imam Aspuri, belajar tarekat kepada kedua mualim tersebut. Kebetulan, salah satunya tinggal di Ciasem, Subang, yang merupakan kampung halaman Imam Aspuri.

Jumat, 08 Mei 2009

Para Guru dari Ayahanda Chalid Bermawie

Guru Imam Aspuri alm.
GURU TERAKHIR

Adalah guru Imam Aspuri, Ayahanda Chalid Bermawie paling lama belajar tarekat, yakni sejak tahun 1980-an hingga sang guru wafat sekitar tahun 2005. Pertemuan pertama Ayahanda dengan guru Imam Aspuri adalah di kediaman keluarga Abdul Hamid Bermawie di Jalan Kepu Timur (terletak antara Jalan Kepu Dalam IV dan Kepu Dalam V). Hingga saat ini, Imam Aspuri-lah guru terakhir tempat Ayahanda menimba ilmu.

PARA GURU SEBELUMNYA

Seperti kebanyakan orang Betawi waktu itu, Ayahanda sudah belajar Qur'an sejak usia amat belia. Bukan cuma belajar membaca, namun juga mengkajinya. Kebetulan sekali, pada zaman Ayahanda masih muda, di daerah tempat Ayahanda dibesarkan, yakni Kemayoran, menetap beberapa alim ulama kharismatik. Beberapa nama alim ulama yang biasa didatangi Ayahanda adalah mualim Sa'idan di Kemayoran, mualim Jaeni di Gang Ketapang, Kemayoran, mualim Syafi'e Hadzami di Kemayoran, dan Kyai Tubagus Zaenuddin di Balaraja, Banten. Selain itu, ayahanda juga belajar tentang muamalah kepada sang ayah (kakek penulis), Haji Abdul Manaf Bermawie dan tentang 'rasa' dan 'budi' kepada Raden Anang Daryan Jayadikusumah di Tasikmalaya (kakek penulis; ayah dari Ibunda).

Kepada mualim Syafi'e Hadzami, Ayahanda cukup lama belajar. Ayahanda pernah hingga beberapa waktu ketika mualim masih menetap di kemayoran, menjadi pendamping, layaknya ajudan kemana-mana membawa tas mualim (hal ini dapat menggambarkan intensitas pertemuan beliau berdua). Pada saat kakek Penulis (Haji Abdul Manaf Bermawie) wafat, mualim Syafi'e Hadzami menyempatkan datang dan meng-imami shalat jenazah waktu itu (konon, nama depan Penulis pun adalah pemberian sang mualim; pemberian nama itu pada sebuah pengajian di Gang Kadiman, dimana Ayahanda membawa diri Penulis yang masih bayi).

Rabu, 06 Mei 2009

Asal Muasal Majelis Dzikir

Majelis Dzikir (MD) adalah sebuah perkumpulan pengajian tarekat yang merupakan anak dari sebuah organisasi tarekat besar bernama Majlis Ta'lim Mutathohirrin (MTM) yang berpusat di Ciasem, Subang, Jawa Bara (Penulis menyebut MTM sebagai organisasi besar, karena cabang-cabangnya menyebar hampir di seluruh Jakarta plus sebagian Jawa Barat, dengan jumlah jamaah mencapai ribuan orang). Nama Majelis Dzikir baru diperkenalkan setelah beberapa tahun sejak wafatnya sang guru besar, Imam Aspuri (Mama Imam Aspuri).

Setelah Guru Besar Imam Aspuri wafat, MTM tidak memiliki guru pengganti yang resmi. Kegiatan pengajian MTM kemudian terpecah dengan dibina oleh murid-murid senior di daerah-daerah, diantaranya di daearah Kemayoran (Jakarta Pusat), Warakas (Jakarta Utara), Pondok Pinang (Jakarta Selatan). Bintara Barat (Bekasi), Bantar Gebang (Bekasi Barat), Depok (Jawa Barat), Bandung (Jawa Barat), dan Ciasem (Jawa Barat). Beberapa waktu kemudian, jamaah MTM di Warakas, Pondok Pinang, dan Bintara dibina oleh ayahanda Chalid Bermawie.

Ayahanda Chalid Bermawie menyadari bahwa setiap murid Imam Aspuri yang kini menjadi pembina (guru), masing-masing memiliki ciri khas dalam pembinaannya. Perbedaan tersebut dapat dikarenakan tidak samanya macam dan tingkat pemahaman, pengalaman spiritual, dan latar belakang kultural sebelum bergabung dengan MTM. Sebagai tanggung jawab moril, dan untuk menghindari kekacauan informasi tentang pelajaran kesufian, maka Ayahanda memberi nama Majelis Dzikir untuk perkumpulan yang dibinanya.