Minggu, 12 Juli 2009

Makna Isra Mi'raj dan Amal Shaleh

Isra Mi'raj adalah sebuah peristiwa kontroversial yang pernah dialami oleh Rasulullah Muhammad SAW. Secara bahasa Isra Mi'raj memiliki arti perjalanan diwaktu malam dari masjid al Haram di Makkah ke masjid al Aqsa di Palestina dan naik ke langit. Kata malam memiliki makna metafota suasana duka dan memang demikianlah suasana hati Rasulullah waktu itu.

Pembahasan tentang kronologi Isra Mi'raj telah banyak disampaikan baik secara langsung oleh para penceramah, maupun melalui buku oleh para penulis. Namun, makna sesungguhnya Isra Mi'raj sendiri tenyata masih jarang dibahas.

Telah diceritakan bahwa dalam perjalanan Isra Mi'raj tersebut Rasulullah mengendarai semacam hewan yang bernama buraq. Cerita tentang hewan buraq tidak tertera dalam Qur'an, cerita hewan tersebut hanyalah sebuah ungkapan untuk bisa dimengerti oleh manusia pada zaman itu (abad 8 masehi).

Buraq yang berarti kilat dapat dijelaskan dengan lebih baik di zaman modern sekarang ini setelah ilmu fisika mencapai kemajuan yang sangat pesat. Ilmu fisika modern menyepakati bahwa gerakan materi tercepat di jagad raya ini adalah pergerakan cahaya yakni 300.000 km per detik. Dengan demikian jelaslah bahwa buraq yang dimaksudkan Rasulullah pada abad ke-8 itu adalah sebuah fasilitas transportasi yang mampu bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi, setara dengan kecepatan cahaya jika mengacu pada pemahaman orang modern saat ini. Saya tulis setara tidak berarti kecepatannya sedikit kurang dari kecepatan cahaya, namun bisa saja justru melampaui kecepatan itu ! Karena dalam Qur'an disebutkan pula bahwa satu hari di langit setara dengan 50.000 tahun di bumi, dan malaikat Jibril membutuhkan waktu lebih dari satu hari untuk mencapai suatu tempat, tempat dimana Jibril biasa laporan kepada Allah SWT !

Makna Isra Mi'raj

Inti kisah Isra Mi'raj Rasulullah Muhammad SAW adalah perjumpaan dengan Allah SWT. Bagaimana perjumpaan secara langsung tersebut tidak dapat terkatakan oleh Rasulullah. Juga pertanyaan apakah Rasulullah melakukan Isra Mi'raj secara biologis utuh atau hanya secara spiritual, itupun menjadi tidak penting karena ilmu pengetahuan sekarang memaklumi bahwa energi dan dimensi dapat berubah-ubah (meskipun belum tentu bisa dibuktikan secara empiris) !

Sekali lagi, inti Isra Mi'raj adalah perjumpaan seorang hamba dengan Tuhannya. Yang penting untuk disampaikan disini adalah firman Allah yang mengatakan bahwa tidak mungkin seorang hamba dapat berjumpa dengan Allah jika tidak memenuhi dua persyaratan. Dua persyaratan itu adalah tidak menyekutukan Allah dengan apapun atau siapapun, termasuk dengan ego hamba itu sendiri. Kedua, melakukan amal shaleh.

Pengertian Amal Shaleh

Secara gampang amal shaleh diartikan sebagai segala perbuatan baik. Namun sesungguhnya pengertian amal shaleh tidak sekedar perbuatan baik, namun perbuatan baik yang disertai keikhlasan (memaklumi dengan tanpa pamrih). Seorang anak yang ahli ibadah, yang ayahnya adalah penista, belum bisa disebut anak shaleh atau melakukan amal shaleh apabila ia membenci ayahnya atau kesal dengan perbuatan ayahnya. Ia baru bisa disebut anak shaleh atau beramal shaleh apabila ia tidak pernah bosan mendoakan ayahnya, dan berdakwah kepada ayahnya itu dengan penuh kasih sayang.

Tambahan (Tentang Pemahaman Kalimat Tauhid dan Thoyyibah)

Dalam rangkaian tentang isra' mi'raj sangat jelas kalimat laa ilaaha illa Allah itu memuat dua pengertian yang mendasar sebagai kalimat Tauhid dan kalimat Thoyyibah. Yang satu menjelaskan tentang ke-maha esa an Allah, tidak ada ghair-ghair yang lain kecuali Allah, sedangkan kalimat Thoyyibah membawa kita kepada pengertian dasar untuk senantiasa berbuat baik (Kalim, kalam atau ucapan thoyyibah = baik/bagus). Pada suatu hari nanti mulut ini terkunci, tangan dan kaki yang berbicara tentang apa2 yang dilakukan/diperbuat (Yaa siin : 65). Inilah pengertian tentang kalimat: Hidup- nya memakai kalimat Thoyyibah.

Selasa, 09 Juni 2009

Tawajjuh

Tawajjuh berarti meninggalkan pikiran-pikiran kecuali kepada Allah. Kegiatan tawajjuh biasanya dilakukan dengan cara :
1. Terus menyebut ismu Dzat dalam kalbu.
2. Memejamkan mata.
3. Menahan nafas sekuatnya dan diulang terus menerus.
4. Berupaya meninggalkan pikiran-pikiran kecuali kepada Allah.

Kegiatan menutup mata dan menahan nafas dapat dimisalkan seolah-olah pelaku mematikan aktivitas jasmaniah dan membangun aktivitas batiniah, karena perjalanan spiritual tidak akan tertembus melalui panca indrawi (apabila rasionalisme mencapai puncak eksistensi dalam pencarian kebenaran, maka puncak eksistensi itu hanyalah awal dari perjalanan baru spiritual ... demikianlah rasionalisme tidak mampu menggapai perjalanan tahap lanjut menuju Allah, karena perjalanan tahap lanjut itu bukan berjalan, bukan juga berlari selayaknya aktivitas jasmani, melainkan terbang seperti layaknya perjalanan spiritual pada umumnya).

Saat bertawajjuh, pada awalnya, dalam pandangan mata terpejam, pelakon akan melihat berbagai hal, misalnya padang rumput yang luas, laut yang luas, cahaya, tulisan 'Allah', dan lain-lain. Semua penglihatan tersebut adalah penglihatan yang masih baur (belum terfokus). Pada tahap tertentu, dimana pikiran berhasil difokuskan, maka yang nampak adalah 'sesuatu yang bermakna' (tidak bisa diceritakan karena bersifat rahasia dan khas).

6 Metode Tarekat Majelis Dzikir

Setiap tarekat pasti memiliki metode dalam mencapai tujuannya. Secara umum, tujuan setiap tarekat adalah pencapaian taraf fanaul fanailallah (tenggelam dalam Allah) bagi individu yang melakoninya. Pada tarekat Majelis Dzikir binaan Ayahanda Chalid Bermawie (kita sebut saja : Tarekat Majelis Dzikir Barmawiyyah), dikenal enam kegiatan yang menjadi metode ajarannya.

Enam metode tarekat tersebut adalah
1. Mengamalkan kalimat laa illaha illallah secara lisan dengan bilangan tertentu.
2. Mengucap ismu Dzat dalam kalbu.
3. Tawajjuh.
4. Harkat.
5. Dorob.
6. Kalam.

Sebagai metode, enam kegiatan di atas tidak selalu bersifat rukun. Artinya, apabila mencapai tahapan lebih lanjut tidak berarti tahapan terdahulu ditinggalkan (tidak diamalkan lagi). Tarekat Majelis Dzikir Barmawiyyah menganjurkan mengamalkan enam kegiatan ini dengan menyesuaikan terhadap situasi dan kondisi pelakon, mana yang paling mungkin.

Meski pengamalan kegiatan-kegiatan (yang menjadi metode) tarekat ini tidak mesti runut, namun pada situasi ideal, urutan di atas biasanya benar-benar dipraktikkan, karena sesungguhnya urutan enam kegiatan metode itu adalah tahapan/ tingkatan batin para pelaku (sufi).

Sebagai tingkatan batin, maka kami sampaikan taraf berikutnya (yang ke-7 dan 8), yakni
1. Khawastul khawas ilallah, dan
2. Fanaul fana ilallah.


Sabtu, 16 Mei 2009

Silsilah Ilmu Majelis Dzikir

Ajaran tarekat Majelis Dzikir jika dirunut akan sampai kepada Rasulullah Muhammad Saw. Namun untuk mempersingkat, telah sampai kepada Penulis bahwa salah satu moyang guru adalah seorang syaikh Mekkah asal Indonesia yang bernama Syekh Ahmad Khatib Sambas. Ajaran tarekat Syaikh Ahmad Khatib Sambas merupakan perpaduan antara tarekat Qadiriah (yang diajarkan oleh Syekh Abdul Qadir Jilani) dan tarekat Naqsyabandi (yang diajarkan oleh Syekh Bukhari Naqsyabandi).
Diantara murid-murid Syekh Ahmad Khatib Sambas di Mekkah, adalah seorang Indonesia bernama Syekh Tolha Tolabuddin yang masih keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon. Syekh Tolha memiliki banyak murid, diantaranya adalah Mama Zeni (yang makamnya ada di sebelah makam Syekh Tolha di Gunung Jati) dan Syekh Abdul Mu'in (Ki Abdul Mu'in).
Guru Ayahanda, Imam Aspuri, belajar tarekat kepada kedua mualim tersebut. Kebetulan, salah satunya tinggal di Ciasem, Subang, yang merupakan kampung halaman Imam Aspuri.

Jumat, 08 Mei 2009

Para Guru dari Ayahanda Chalid Bermawie

Guru Imam Aspuri alm.
GURU TERAKHIR

Adalah guru Imam Aspuri, Ayahanda Chalid Bermawie paling lama belajar tarekat, yakni sejak tahun 1980-an hingga sang guru wafat sekitar tahun 2005. Pertemuan pertama Ayahanda dengan guru Imam Aspuri adalah di kediaman keluarga Abdul Hamid Bermawie di Jalan Kepu Timur (terletak antara Jalan Kepu Dalam IV dan Kepu Dalam V). Hingga saat ini, Imam Aspuri-lah guru terakhir tempat Ayahanda menimba ilmu.

PARA GURU SEBELUMNYA

Seperti kebanyakan orang Betawi waktu itu, Ayahanda sudah belajar Qur'an sejak usia amat belia. Bukan cuma belajar membaca, namun juga mengkajinya. Kebetulan sekali, pada zaman Ayahanda masih muda, di daerah tempat Ayahanda dibesarkan, yakni Kemayoran, menetap beberapa alim ulama kharismatik. Beberapa nama alim ulama yang biasa didatangi Ayahanda adalah mualim Sa'idan di Kemayoran, mualim Jaeni di Gang Ketapang, Kemayoran, mualim Syafi'e Hadzami di Kemayoran, dan Kyai Tubagus Zaenuddin di Balaraja, Banten. Selain itu, ayahanda juga belajar tentang muamalah kepada sang ayah (kakek penulis), Haji Abdul Manaf Bermawie dan tentang 'rasa' dan 'budi' kepada Raden Anang Daryan Jayadikusumah di Tasikmalaya (kakek penulis; ayah dari Ibunda).

Kepada mualim Syafi'e Hadzami, Ayahanda cukup lama belajar. Ayahanda pernah hingga beberapa waktu ketika mualim masih menetap di kemayoran, menjadi pendamping, layaknya ajudan kemana-mana membawa tas mualim (hal ini dapat menggambarkan intensitas pertemuan beliau berdua). Pada saat kakek Penulis (Haji Abdul Manaf Bermawie) wafat, mualim Syafi'e Hadzami menyempatkan datang dan meng-imami shalat jenazah waktu itu (konon, nama depan Penulis pun adalah pemberian sang mualim; pemberian nama itu pada sebuah pengajian di Gang Kadiman, dimana Ayahanda membawa diri Penulis yang masih bayi).

Rabu, 06 Mei 2009

Asal Muasal Majelis Dzikir

Majelis Dzikir (MD) adalah sebuah perkumpulan pengajian tarekat yang merupakan anak dari sebuah organisasi tarekat besar bernama Majlis Ta'lim Mutathohirrin (MTM) yang berpusat di Ciasem, Subang, Jawa Bara (Penulis menyebut MTM sebagai organisasi besar, karena cabang-cabangnya menyebar hampir di seluruh Jakarta plus sebagian Jawa Barat, dengan jumlah jamaah mencapai ribuan orang). Nama Majelis Dzikir baru diperkenalkan setelah beberapa tahun sejak wafatnya sang guru besar, Imam Aspuri (Mama Imam Aspuri).

Setelah Guru Besar Imam Aspuri wafat, MTM tidak memiliki guru pengganti yang resmi. Kegiatan pengajian MTM kemudian terpecah dengan dibina oleh murid-murid senior di daerah-daerah, diantaranya di daearah Kemayoran (Jakarta Pusat), Warakas (Jakarta Utara), Pondok Pinang (Jakarta Selatan). Bintara Barat (Bekasi), Bantar Gebang (Bekasi Barat), Depok (Jawa Barat), Bandung (Jawa Barat), dan Ciasem (Jawa Barat). Beberapa waktu kemudian, jamaah MTM di Warakas, Pondok Pinang, dan Bintara dibina oleh ayahanda Chalid Bermawie.

Ayahanda Chalid Bermawie menyadari bahwa setiap murid Imam Aspuri yang kini menjadi pembina (guru), masing-masing memiliki ciri khas dalam pembinaannya. Perbedaan tersebut dapat dikarenakan tidak samanya macam dan tingkat pemahaman, pengalaman spiritual, dan latar belakang kultural sebelum bergabung dengan MTM. Sebagai tanggung jawab moril, dan untuk menghindari kekacauan informasi tentang pelajaran kesufian, maka Ayahanda memberi nama Majelis Dzikir untuk perkumpulan yang dibinanya.